Selasa, 12 April 2016

Sie Djin Koei Tjeng See edisi Art Paper

Inilah puncak dari pelestarian komik antik legendaris Sie Djin Koei Tjeng See. Komik besar karya Siauw Tik Kwie ini sudah sejak dulu dicetak berulang-ulang namun baru kali ini berhasil diringkas hanya jadi 2 (dua) buku saja tamat. Baru pertama kali dalam sejarah komik Sie Djin Koei Tjeng See ini dicetak dengan kertas halus licin art paper.
Buku yang layak dikoleksi ini bisa dipesan dengan harga Rp 200.000,- belum termasuk ongkos kirim. Silahkan kontak 085647755555

Sie Djin Koei Tjeng Tang edisi Art Paper

Baru terjadi dalam sejarah komik Sie Djin Koei Tjeng Tang dicetak dengan kertas licin mengkilap (art paper) dan selesai tamat hanya satu buku.
Harga Rp 100.000,- belum termasuk ongkos kirim. Gambar-gambar asli seperti komik Sie Djin Koei sejak jaman dulu. Karya besar Siauw Tik Kwie yang legendaris

Selasa, 05 April 2016

Sie Djin Koei Tjeng Kertas HVS



Sie Djin Koei Tjeng Kertas HVS Pengarang : Siauw Tik Kwie
Penerbit : Wastu Lanas Grafika Surabaya 2009
Jumlah buku : 2
Harga 2 buku Rp 120.000,- + Ongkir
Sejarah pencetakan komik karya Oto Suastika (Siauw Tik Kwie) ini :
Cetakan ke 1 dimuat bersambung di majalah Star Weekly Djakarta Agustus 1933 - Pebruari 1960.
Cetakan ke 2 : Keng Po Jakarta 1960.
Cetakan ke 3 : Zhambala Jakarta 1984
Cetakan ke 4 : Wastu Lanas Grafika Surabaya Mei 2009

RIWAYAT HIDUP PELUKIS OTTO SUASTIKA (SIAUW TIK KWIE)



Otto Suastika yang dahulu bernama Siauw Tik Kwie dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1913 di kota Surakarta. Ia bersaudara 3 orang yaitu 2 orang saudara laki-laki dan seorang saudara wanita. Pendidikan yang diperolehnya adalah dari Sekolah Tiong Hoa Hwee Kuan, yaitu sekolah bagi golongan Timur Asing-Cina pada jaman Belanda. Dari sekolah tersebut, di samping mata pelajaran lainnya, ia juga mendapat pelajaran melukis untuk pertama kalinya dari guru-guru yang pandai. Cara-cara melukis benda, alam, manusia dan membesarkan potret orang diajarkan kepadanya. Dalam bidang kerohanian yang diajarkan kepadanya adalah filsafat Khong Hu Cu (Confusiansisme).

Sejak usia muda ia gemar melukis dan membaca buku legenda/mitologi Cina seperti Hong Sin, Sam Kok, Si Jin Kui, Si Teng San, Si Kiong, Gak Hui, Se Yu Ki (Riwayat Sun Go Kong), Pak Yu Ki (Riwayat Hian Thian Siang Te), Tong Yu Ki (Riwayat Pat Sian / 8 Dewa) dan lain-lain. Ia mempunyai hobby mengumpulkan gambar-gambar tokoh-tokoh cerita tersebut di atas yang terdapat pada bungkus rokok pada jaman itu. Lukisan gambar Kuan Kong, Sun Go Kong, Lo Cia, Si Jin Kui, dan lain-lain sering diperbesar hanya sekedar untuk dibagi-bagikan secara gratis kepada yang berminat pada waktu itu.

Ibunya bernama Poa Tjin Nio dapat membaca aksara Jawa (Hanacaraka) dan juga suka membaca buku-buku legenda tersebut di atas yang sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Jawa. Pada waktu membacanya, ibunya dikelilingi oleh beberapa sahabat ibunya yang turut mendengarkan cerita tersebut dalam tembang Jawa.

Di samping gemar membaca cerita klasik tersebut, ibunya suka pula menyaksikan pergelaran wayang orang Cina / Opera Cina yaitu semacam sandiwara yang dimainkan oleh artis-artis peranakan dan menampilkan lakon-lakon Si Jin Kui, Lo Tong Ceng Souw Pak, dan lain-lain. Kostum dan peragaannya ala Tiong Kok sementara bahasanya adalah Melayu Betawi tempo dulu. Musiknya keroncong dengan tambur dan gembreng dari alat musik Tiongkok. Karena selalu ikut menyaksikan pertunjukan semacam itu, ia mempunyai kesan yang mendalam sehingga dapat mengingat dengan jelas pakaian yang dikenakan maupun gaya yang diperagaka. Ayahnya bernama Siauw Gwan Lie.

Pada usia dua belas tahun, ia pernah dibawa oleh almarhum Liem Too Hien dan Kwik Hway Hien pergi menemui Yang Mulia Tan Tek Siu Sian (Dewa Tan Tek Siu) di Rejoagung dekat Tulung Agung. Lim Too Hien adalah seorang pelukis tua yang kenamaan dan Kwik Hway Hien adalah bekas murid Lauw Ceng Tie, guru silat/kungfu dari Parakan yang sangat termahsyur, sedang Yang Mulia Tan Tek Siu Sian adalah pertapa sakti yang pantang berbicara, tersohor karena ilmu pengobatan dan ilmu silatnya. Gua bertapanya cukup besar yang di dalamnya dihiasi dengan lukisan-lukisan legenda tersebut di atas. Di sinilah untuk pertama kalinya, ia menyaksikan bagaimana cara melukis figur-figur dari legenda tersebut oleh Liem Too Hien. Yang paling mengesankan baginya adalah tokoh Lo Cia / Na Cha bertarung melawan seekor naga, yang merupakan lukisan indah yang tak terlupakan.

Pada usia 14 tahun, ia berhenti sekolah, lalu bekerja membantu pamannya membeli palawija di desa Salam, Surakarta. Setahun kemudian ia pindah ke Wonogiri membantu perusahaan pamannya yaitu Jamu Cap Jago. Di kota kecil ini, ia berkecimpung dalam kegiatan muda-mudi. Sering dibuatnya gambar ilustrasi untuk Majalah Moestika Romans di Jakarta yang dipimpin oleh Bapak Tridharma, alm. Kwee Tek Hoay. Ia berlangganan buku-buku novel yang dikarang dan diterbitkan oleh Kwee Tek Hoay dan sangat tertarik pada karangan-karangannya yang ceritanya selalu disisipkan dengan ajaran-ajaran Tridharma.

Pada sekitar tahun 1930, di kota Surakarta diadakan konferensi tokoh-tokoh Tridharma. Dalam konferensi itu hadir antara lain Tjia Tjiap Ling dari Surabaya, Ong Soe An dari Bandung, Liem Giem Siang dari Semarang, Kwik Hong Gie dan Auw Ing Kiong dari Surakarta, dan Kwee Tek Hoay dari Jakarta. Dalam pertemuan itulah ia berjumpa muka untuk pertama kalinya dengan Kwee Tek Hoay.

Pembicaraan dalam konferensi itu berkisar pada usaha mencari jalan bagaimana menyebarluaskan ajaran Tridharma. Namun karena konferensi itu tidak menghasilkan program yang kongkrit, maka tidak ada tindak lanjutnya. Sehingga beberapa waktu kemudian Kwee Tek Hoay memutuskan untuk menerbitkan Majalah Moestika Dharma dengan maksud agar penyiaran ajaran Tridharma dapat terlaksana. Sejak itu Kwee Tek Hoay menyalurkan ajaran Tridharma melalui Majalah Moestika Dharma.

Suatu kejutan baginya terjadi pada tahun 1931 ketika ia dipanggil ke Jakarta oleh Kwee Tek Hoay untuk membantu secara sukarela di dalam usaha menerbitkan Majalah Moestika Dharma, Moestika Romans dan lain-lain di Jakarta. Ia segera menerima panggilan tersebut dengan pertimbangan bahwa hidup di kota besar seperti Batavia pasti akan membuka cakrawala baru bagi kehidupannya dalam bidang kesenian dan kerohanian. Sejak itu ia tinggal di rumah Kwee Tek Hoay di Jalan Mangga Besar No. 69 Jakarta. Selama 3 tahun ia turut berkecimpung dalam usaha menerbitkan buku-buku, majalah-majalah yang berintikan ajaran Tridharma.

Di Jakarta, ia memperoleh bimbingan melukis dari Pastur Sterneberg, H.V. Velthuisen dan Jan Frank. Ia juga menjalin persahabatan dengan pelukis-pelukis Kho Wan Gie yang mencipta komik Put On, Tan Lip Poen, Lee Man Fong, dan lain-lain. Dan bersama-sama mereka, ia mendirikan organisasi seniman Mei Shu Yen Tsiu Hui. Kecuali mengerjakan ilustrasi untuk majalah-majalah Moestika Dharma dan Moestika Romans, ia juga melukis komik untuk surat kabar Siang Po Jakarta, Sin Tit Po Surabaya, Majalah Liberty Malang dan Star Magazine Jakarta.

Pada tahun 1935, berhubung kepindahan Kwee Tek Hoay ke Cicurug, maka ia mulai mengalihkan lapangan karyanya ke biro-biro reklame Exelcior, Gestetner, A.A. de Lamar, de Unie, Preciosa, dan Kolff. Pada waktu itu Kwee Tek Hoay bersama-sama dengan Mr. Power (orang Amerika), Sukirlan, Kadirun, Sukarjo, Chakrabudhi, Paneji Nandalapunj, Oei Tiong Lim, mendirikan Bataviasche Buddhist Association dan Sam Kauw Hwee (Perkumpulan Tridharma), yang mendapat dukungan dari Siauw Tik Kwie dengan kawan-kawannya yaitu Phoei Soen Kauw, Liem Tiat Sien, Oei Eng Djoe, Yo Soen Liong, Thung Goan Seng, dan lain-lain.

Program kerja Sam Kauw Hwee ialah mengadalan ceramah pada waktu-waktu tertentu dalam setiap bulan, dan mengadakan perayaan Waisak dan Ashada setiap tahun. Ceramah-ceramah dan perayaan itu diadakan di Kelenteng Kwan Im Tong, Jalan Mangga Besar No. 95 Jakarta. Tema dari ceramah-ceramah tersebut berkisar pada ajaran-ajaran Tridharma. Pernah beberapa kali Sam Kauw Hwee diminta untuk mengadakan ceramah radio oleh Radio Voro milik golongan Bumiputera.

Ia menikah pada tahun 1938 dengan seorang gadis yang masih termasuk sanak kadangnya. Istrinya yang bernama Tan Poen Nio yang senantiasa mendukung perjuangannya di dalam mengembangkan bakat dan karirnya, amat membantu kesuksesan cita-citanya. Pernikahan tersebut dikaruniai dua orang anak perempuan.

Ketika Perang Pasifik meletus pada tahun 1942, ia dan keluarganya pindah ke kota kelahirannya, Surakarta. Di sini ia bergabung dengan organisasi Kay Kio Sokai, bagian kesenian dan Khong Kauw Hwee (Perkumpulan agama Khong Hu Cu). Sebagai mata pencahariannya ia mengadakan kursus melukis, sementara istrinya yang ahli busana, mengadakan kursus jahit-menjahit. Hubungannya dengan Kwee Tek Hoay tetap berlangsung dengan cara membantu menjualkan buku-buku terbitan Kwee Tek Hoay di Surakarta.

Pada masa itulah, ia mulai berkenalan dengan ilmu jiwa ajaran Ki Ageng Suryomentaram yang memusatkan wejangannya pada pengawikan pribadi atau pengetahuan mengenai diri sendiri. Di samping itu ia pun mempelajari ajaran J. Krishnamurti tentang self-knowledge atau pengetahuan mengenai diri sendiri. Ajaran-ajaran tersebut sangat membantu dalam usahanya memahami kitab-kitab suci Tridharma.

Pada tahun 1945 bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia Kedua, berkobarlah revolusi bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Ia bersama Tony Wen dan kawan-kawan lainnya membentuk Serikat Rakyat dan Buruh Tionghoa yang ikut berjuang membantu pihak Republik Indonesia secara moril dan material. Karena itulah, maka pada tahun 1946, ia diangkat menjadi anggota DPRD Surakarta. Masyarakat Tionghoa yang pro-R.I. menunjuk dirinya sebagai anggota Presidium Panitya Penolong Korban Perang yang bertugas menangani pengungsian, mewakili masyarakat Tionghoa.

Pada tahun 1949, ia bersama keluarganya kembali ke Jakarta dan ia melihat kenyataan bahwa kegiatan Sam Kauw Hwee yang terhenti sementara karena pendudukan Jepang, telah mulai hidup kembali dan tetap dipimpin oleh Kwee Tek Hoay, bahkan semakin berkembang. Puteri Kwee Tek Hoay yang bernama Ny. Visakha Gundharma (Kwee Yap Nio) juga terjun di dalam usaha penyebaran agama tersebut. Bersamaan dengan itu di Jakarta bermunculan berbagai perkumpulan seperti Khong Kauw Hwee Jakarta, Thian Lie Hwee yang dipimpin oleh Ong Tiang Biauw yang kemudian menjadi biksu dengan nama Jinaputta. Perkumpulan-perkumpulan itu bekerja sama di dalam menyebarkan ajaran Tridharma.

Beberapa waktu kemudian ketika ia bersama Liem Bian Ing dan kawan-kawan lainnya pergi menjenguk Kwee Tek Hoay di Cicurug, Kwee Tek Hoay menerangkan bahwa keamanan di Jawa Barat agak gawat, namun ia tidak ingin mengungsi demi tugasnya yang mulia itu. Dan benar saja, tidak lama kemudian Kwee Tek Hoay tewas dibunuh gerombolah perampok yang merampok rumahnya. Di samping melukis seni murni (fine art), ia mengerjakan gambar-gambar reklame dan membantu mingguan Star Weekly. Sampai tahun 1952, tiba-tiba redaktur Star Weekly yaitu Tan Hian Lay dan Auwyong Peng Kun (almarhum P.K. Oyong, bekas Pemimpin Umum Harian Kompas) memintanya untuk melukis cerita bergambar Si Jin Kui.

Semula ia agak ragu-ragu, namun disanggupi juga pesanan yang tidak mudah itu. Untunglah ia telah mengumpulkan banyak pengalaman di masa-masa lalu sebagai sarana untuk menunjang karyanya itu, sehingga di dalam pelaksanaan tugas tersebut tidak banyak kesulitan yang dijumpai. Serial cerita bergambar tersebut baru selesai dilukis setelah memakan waktu tujuh tahun penuh. Kemudian percetakan Keng Po menerbitkannya dalam bentuk buku cerita bergambar, yang sekaligus menjamin hak ciptanya atas cerita bergambar tersebut.

Dalam bidang seni lukis, ia pernah empat kali mengadakan pameran tunggal di Balai Budaya Jakarta. Pameran yang terakhir, tahun 1980, diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Daoed Joesoef dan disponsori oleh Jusuf Wanandi, SH (Liem Bian Kie, SH).

Selain melukis, ia juga menyempatkan diri menerjemahkan buku-buku Ki Ageng Suryomentaram yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan Idayu Jakarta. Ia gemar pula berdiskusi mengenai ilmu jiwa dan pengetahuan mengenai diri sendiri.

Banyak muda-mudi yang berbakat melukis sering mengunjunginya untuk meminta nasihat, petunjuk dan bahkan bimbingan. Kadang-kadang ia mengajak mereka melukis bersama-sama di dalam atau di luar kota. Objek yang dilukisnya adalah bebas, mulai dari pemandangan alam di pegunungan, pantai dengan perahu nelayan, sampai lorong kota lama dan kesibukan pasar. Hewan, manusia, bunga, penari juga tidak luput dari tema lukisannya. Dalam olah raga ia pun tidak mau ketinggalan; bola basket, bulu tangkis, renang, gerak jalan dan yoga semua pernah dilakukan, bahkan sampai sekarang, ia masih melakukan yoga.

Dalam usia tujuh puluh tahun, kini kesibukannya setiap hari hanyalah melukis dan melukis. Untuk itu ia sering pergi ke luar kota mencari objek lukisannya seperti pemandangan alam di Pulau Bali, Gunung Bromo di Jawa Timur, Gunung Galunggung di Jawa Barat, juga telah menjadi sasaran lukisannya.

Pada tahun 1979, pada suatu hari, tanggal 30 Juli, Drs. Aggi Tjetje, Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Gabungan Tridharma Indonesia dan juga Pemimpin Umum Harian Lensa Generasi, datang berkunjung ke rumahnya dan mengutarakan maksudnya akan menerbitkan cerita bergambar Si Jin Kui secara berseri di Harian Lensa Generasi dan setelah semua selesai termuat, akan diterbitkan dalam bentuk buku cerita bergambar. Melihat maksud dan tujuan tersebut adalah baik dan bermanfaat, maka tanpa ragu-ragu ia menyerahkan hak ciptanya kepada Drs. Aggi Tjetje dengan pesan agar tata bahasa dan ejaan dari cerita tersebut diperbaiki / diperbaharui.

Dalam hari tuanya ini, ia merasa sangat berbahagia karena banyak umat-umat Tridharma yang masih memperhatikan dirinya. Ia sering diminta menulis, berceramah, menghadiri perayaan dan upacara-upacara keagamaan.

Melihat perkembangan Tridharma yang sedemikian pesatnya, ia merasa puas karena tidak sia-sia jerih-payahnya membantu Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee dahulu, dan ia merasa bangga bahwa Sam Kauw Hwee yang didirikannya 50 tahun yang lalu, sampai kini masih hidup berkesinambungan secara konsisten, bahkan sudah sedemikian hebat kemajuannya. Sebaliknya ia merasa sedih bahwa Bataviasche Buddhist Association tidak berumur panjang.

Pesannya kepada generasi muda sekarang yaitu �Sesudah kita berjuang dan berhasil memerangi penjajah dalam revolusi fisik 1945, sekarang kita masih harus berjuang memerangi penjajah lain yang masih bercokol yaitu kemiskinan. Caranya yaitu kalau dulu, dengan bambu runcing dan senapan rampasan, sekarang dengan pacul, sekop, bajak, luku, dan lain-lain perkakas pertukangan dan pertanian; kalau dulu melalui peperangan, sekarang melalui pembangunan.

Kepada masyarakat keturunan Tionghoa yang pada jaman Belanda dikelompokkan sebagai golongan Timur Asing, diserukan agar berbaur secara tulus dengan semua golongan dan lapisan masyarakat, demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

(Diketik ulang dari Sie Djien Koei Tjeng Tang, terbitan Gabungan Tridharma Indonesia, Jakarta, cetakan pertama 1983)


SUKA DUKA MELUKIS SIE DJIN KOEI

Suka dan duka dalam penghidupan manusia pada umumnya adalah hal yang wajar. Namun Oto Suastika menganggap hal itu tidak tetap/langgeng. Hal yang semula menyenangkan kemudian bisa berubah menyusahkan, bisa berubah menyenangkan. Maka dengan menyadari dan mengerti sifat hakiki itu, ia dapat menghadapi gelombang pasang-surut itu dengan tabah dan tenang.

Di dalam pengalamannya selama kurang lebih tujuh tahun melukis Cerita Bergambar Sie Djin Koei, Oto Suastika mengalami suka dan duka silih berganti. Pertama, didalam mencari dan memilih gaya atau corak lukisan. Kalau menggunakan garis saja (contour line drawing) sebagaimana kebanyakan lukisan Tiongkok kuno, memang kelihatan halus, tetapi kurang dimensi dan kurang menonjol. Maka ia lalu menambahkannya dengan bayangan yang pekat, sehingga lebih mengesankan tiga dimensi dan keutuhan wujud dan benda.

Masalah berikutnya adalah bagaimana menggambarkan wajah dan tubuh tokoh utama yakni Si Jin Kui. Ia adalah seorang muda yang tampan dan gagah perkasa, lagi baik budinya. Setelah banyak coretan-coretan dibuatnya, akhirnya ditemukan wujud tubuh Si Jin Kui yang memadai.

Oto Suastika melukis Cerita Bergambar Si Jin Kui adalah untuk yang pertama kalinya. Mula-mula ia menemui kesulitan dalam hal membagi berbagai adegan agar sesuai dengan jalannya cerita, ringkas dan tidak bertele-tele. Mengusahakan supaya adegan terakhir pada setiap halaman demikian rupa sehingga pembaca ingin mengetahui sambungannya pada halaman berikutnya. Kesulitan ini lambat laun dapat diatasi, bahkan meningkatkan keterampilan yang sangat menggembirakan.

Cerita Si Jin Kui banyak melibatkan manusia dan kuda sebagai tunggangannya. Maka jika gambar kuda yang memadai tidak dikuasai, mutu cerita bergambar tak mungkin dipertahankan. Oleh karena itu Oto Suastika sering pergi ke kandang-kandang kuda untuk membuat sketsa sebanyak mungkin.

Hal memegang dan memainkan senjata seperti tombak, pedang, ruyung, gembolan, caranya tentu berbeda antara ahli silat dan orang biasa, Oto Suastika dapat melukiskannya berkat pengalamannya pada waktu ia belajar pada guru silat Tjhie Gwan Yu di Solo.

Sedikit kehilafan telah dibuat oleh Oto Suastika, yaitu senjata Si Jin Kui yang diambil dari tombak penopang atap gudang (jilid 1 halaman 20), sebenarnya ialah tombak Hong Thian Kek, yang bentuknya agak berbeda dari tombak trisula. Kekeliruan itu segera diperbaiki dalam gambar berikutnya.

Dalam melukis hampir 1900 adegan gambar selama kurang lebih tujuh tahun, Oto Suastika tak luput dari kelengahan. Ia telah keliru memasang senjata Si Jin Kui di tangan Khai Sou Bun, tatkala yang terakhir dikejar oleh Si Jin Kui, (jilid III halaman 24). Hal tersebut dijelaskan oleh seorang pembaca dari Purworejo yang kritis dan cermat, sehingga gambar Khai Sou Bun yang kecil dalam jarak jauh, tak luput dari pengamatannya. Oto Suastika berterima kasih atas koreksi itu.

Dalam waktu senggangnya Oto Suastika sering membuat gambar sketsa rumah tua dari penduduk golongan keturunan Cina dan rumah ibadah klenteng yang banyak terdapat di Jakarta. Juga pemandangan alam pegunungan di sekitar daerah Padalarang yang banyak terdapat gunung kapur yang menjulang tinggi. Pemandangan di atas dianggapnya mirip dengan lingkungan di mana cerita Si Jin Kui terjadi, yang dapat menambah bahan lukisannya.

Mengenai honor, mula-mula untuk satu halaman yang terdiri dari lima kotak gambar, ia diberi Rp. 7,50 (tujuh rupiah lima puluh sen). Jumlah tersebut dianggap cukup memadai, karena hanya dengan uang sebesar Rp. 30,00 seudah dapat memenuhi kebutuhan hidup sederhana selama sebulan pada waktu itu. Namun malang, inflasi yang melanda tanah air melaju pesat tak terkendalikan. Walaupun pihak penerbit beberapa kali mencoba menyesuaikannya, akan tetapi Oto Suastika tetap mempertahankan dedikasinya. Cerita Bergambar �Sie Djin Koei� dikerjakan sampai selesai.

Nama Si Jin Kui diidentikkan dengan Siauw Tik Kwie. Pada waktu Oto Suastika membeli tiket di airport, petugas di situ menegurnya: �Eh, Si Jin Kui mau terbang kemana?� Tatkala Ny. Oto Suastika membeli obat di apotik, asisten apoteker bertanya: �Si Jin Kui sakit ya?� Sampaipun pada waktu Oto Suastika dirawat di rumah sakit, para jururawat mengolok-oloknya �Wah, Si Jin Kui kok bisa sakit.�

Waktu itu Oto Suastika menderita penyakit gangguan pada urat syarat yang menurut dokter syarafnya terjepit di antara sendi tulang. Untuk itu ia dirawat selama hampir satu bulan. Ketika hampir sembuh ia merasa agak kesepian, iseng-iseng dibuatnya gambar sketsa dari kawan pasien sekamarnya. Hal tersebut menarik perhatian para perawat yang juga meminta dilukiskan wajah mereka masing-masing. Seorang demi seorang digambarnya sehingga membuatnya kewalahan. Hal itu menjadi buah bibir para perawat, sehingga pada suatu malam ia dipanggil oleh pimpinan perawat untuk menghadap di kantornya. Oto Suastika merasa cemas, ia menduga pasti akan memperoleh teguran keras berhubung ulahnya itu. Tetapi dugaannya ternyata meleset, kecemasannya berubah menjadi kejutan yang tak terlupakan. Kepala perawat yang dijumpainya tidak marah, bahkan meminta dilukiskan dirinya. Segera Oto Suastika mengambil alat lukisnya dan disketsnya kepala perawat itu dengan gembira.

Cerita Bergambar �Sie Djin Koei� dimuat dalam mingguan Star Weekly. Agar pemuatannya berjalan lancar, Oto Suastika harus menyediakan gambar cadangan yang cukup jumlahnya. Sehingga pada waktu ia berhalangan karena sakit atau bepergian keluar kota dan lain-lain sebagainya, pembacanya tetap dapat menikmati sambungan cerita tersebut.

Badai paling dahsyat dilalui juga. Penderitaan Oto Suastika yang terberat ialah ketika pada tahun 1967, di mana ia dihinggapi penyakit Anemia Aplastik, semacam penyakit kurang darah yang disebabkan oleh tidak berfungsinya sumsum tulang yang seharusnya memproduksi darah merah. Obat yang khusus belum diketemukan, sehingga penyembuhannya hanya mencapai 12%. Ia harus dirawat di R.S. Husada hampir sepuluh bulan. Kata dokter, biar disediakan satu drum darah pun akan sia-sia saja. Ny. Oto sudah siap mengatur penanganan jenazah dan perabuannya. Namun soal mati-hidup berada di tangan Tuhan dan dasar bintangnya masih terang, berkat pertolongan dokter Kho Lien Keng (Sulendra), dr. A.H. Markum, dr. Iskandar Wahidayat dan dokter lainnya, ia sembuh kembali dan dapat meneruskan karyanya melukis dan mengarang. Pada para penggemarnya yang selama ini menaruh perhatian dan penghargaan, tak lupa ia dalam kesempatan ini mengaturkan banyak terima kasih.

Kepada rekan generasi muda yang akan terjun ke bidang seni cerita bergambar, dianjurkan agar tekun mempelajari anatomi dan perspektif, serta segala bentuk benda alam dan lingkungan.


(Dikutip dari Sie Djin Koei Tjeng Tang, jilid 5 terbitan Gabungan Tridharma Indonesia, cetakan pertama 1983)

Pengarang : Siauw Tik Kwie
Penerbit : Wastu Lanas Grafika Surabaya 2009
Jumlah buku : 2
Harga 2 buku Rp 120.000,- + Ongkir