Minggu, 28 Februari 2010
Sampuraga Anak Durhaka
Komik lebar ukuran 17cm x 25cm
Karya M Ali S ini cover dikerjakan oleh San Wilantara,
Penerbit Karya Bakti Bandung tahun 1983.
Masih baru buka segel dan bukan bekas taman baca.
Harga Rp. 40.000
Anglingdarma
Pusaka Naga Jenar
Darah Hantu Putih
Kamis, 18 Februari 2010
Peri Harpa Emas
Bencana Mustika Merah
Malaikat Kuku Seribu
Dewi Utara
Rabu, 17 Februari 2010
Siluman Sungai Ular
Komik Braja Karya Man - Nomor Stok 001
Setan Catur
Rabu, 10 Februari 2010
Senin, 08 Februari 2010
Kabut Tinombala
Pengantin Kelana
Rakata Bundel
Neraka Perut Bumi
Misteri Airmata Duyung
Rabu, 03 Februari 2010
Rahasia Bukit Kera
Undangan Setan
Raja Akherat
Malaikat Neraka
Pangeran Parang Kuning
Pengantin Mayat
7 Kali Mati
Arwah
Iblis Gua Siluman
Siluman Lembah Maut
10 Jurus Pedang Inti Murni
Iblis Bukit Siluman
Persekutuan Gila
Selasa, 02 Februari 2010
S Ardisoma, Dari Djakawana hingga Wayang Purwa
Di dunia cergam, ia lebih dikenal dengan nama Ardisoma walaupun itu adalah nama ayahnya. Nama sebenarnya adalah Saleh yang kemudian dalam karya-karya cergamnya dituliskan menjadi Saleh Ardisoma, S. Ardisoma, S.A. Soma, atau S.A.S. Nama ini ditorehkannya pada panel-panel komik yang kemudian menjadi milestone dalam sejarah cergam di tahun 1950-1960-an, mendampingi karya cergam wayang fenomenal dari RA Kosasih yaitu Ramayana dan Mahabharata. Ada tiga judul cergam Saleh Ardisoma yang menonjol, yaitu Djakawana, Ulamsari, dan Wayang Purwa. Penerbitan cergam-cergamnya hampir semua di bawah Melodi. Penerbit Melodi ini dikenal sering melakukan inovasi tema dalam penerbitan cergam di tahun 1950-an. Melodi memelopori penerbitan cergam dalam bentuk buku, sekaligus memelopori penciptaan tokoh-tokoh superhero lokal seperti Sri Asih, Putri Bintang dan lain-lain. Melodi juga yang memelopori penerbitan cergam dengan tema “lokal” seperti cerita rakyat dan wayang.
Tarzan adalah tokoh rekaan Edgar Rice Burroughs di tahun 1912. Tarzan dialihmediakan ke dalam komik strip di tahun 1929 oleh Hal Foster. Sepak terjang sosok laki-laki berotot yang dibesarkan oleh kera namun berpenampilan tampan dan cerdas ini menumbuhkan wabah cukup besar pada seniman cergam di Indonesia. Wabah tersebut berupa inspirasi untuk menciptakan tokoh-tokoh cergam baru. Tokoh-tokoh semacam Tarzan diciptakan oleh para seniman Indonesia. RA Kosasih menciptakan Tjempaka (Cempaka), karakter Tarzan perempuan. John Lo menciptakan juga Tarzan perempuan bernama Nina. Bahzar, seniman Medan, menciptakan Mala, Eng menciptakan tokoh Zanga, Kwik Ing Hoo menciptakan tokoh Wiro, dan banyak lagi tokoh lainnya termasuk Djakawana ciptaan Saleh Ardisoma. Ceritanya sangat mirip dengan kisah “terciptanya” Tarzan yang asli. Seorang anak bernama Kohar tertinggal di hutan kemudian diasuh oleh kera besar (orangutan) sehingga menjadi tokoh Djakawana yang berteman dengan binatang-binatang lain. Djakawana bercelana macan tutul yang tersambung ke bagian badan atas persis seperti penggambaran Tarzan versi pertama dari Hal Foster. Tokoh Djakawana inilah yang mulai mempopulerkan nama Saleh Ardisoma. Pada masa kanak-kanak saya, di tahun 1960-an, nama Djakawana ini rasanya cukup sering disebut-sebut. Di taman bacaan milik kakak saya dahulu (1967 - 1969), terlihat banyak yang meminjamnya.
Penciptaan Genre “Tarzan” atau “Petualangan Rimba” memang membutuhkan penguasaan gambar yang baik dalam hal anatomi manusia karena karakter-karakter di dalamnya seringkali tidak menggunakan pakaian. Seniman cergam untuk genre ini akan semakin terlatih dalam menggambar gerak tubuh dan otot manusia dengan lebih seksama. Di samping itu, dibutuhkan juga penguasaan yang baik akan anatomi hewan karena biasanya seorang petualang rimba akan bertemu dengan berbagai jenis hewan. Adegan-adegan di luar ruang - terutama hutan - juga sangat mendominasi gambar pada panel-panelnya. Walaupun dalam hal cerita tidak istimewa, cergam Djakawana inilah yang membuat Saleh Ardisoma menjadi lebih mahir dalam menggambar anatomi dan gerak manusia, hewan, dan menggambarkan adegan-adegan panorama pemandangan alam Indonesia, juga membangun alur cerita. Kemahiran yang didapat dari membuat cergam Djakawana itu sangat menunjang dalam pembuatan cergam bergenre wayang yang digarapnya kemudian.
Ulamsari adalah salah satu judul cergam wayang karya Saleh Ardisoma yang juga cukup “dicari” pada zaman itu, juga “dicari” oleh para kolektor cergam saat ini. Ulamsari merupakan petikan fragmen yang berlatar belakang babon kisah Mahabharata. Berbeda dengan RA Kosasih yang menggarap Mahabharata dengan berusaha taat pada pakem India (walaupun akhirnya tetap ada beberapa penyesuaian), umumnya cergam wayang yang digarap Saleh Ardisoma lebih banyak mengambil lakon yang berasal dari penuturan dalang wayang golek. Ulamsari bercerita tentang Raden Abhimanyu yang berubah menjadi seekor ikan cantik bernama Ulamsari. Ikan tersebut membuat puteri prabu Duryudhana jatuh hati.
Dari cergam-cergam yang dihasilkan S. Ardisoma, pada genre “wayang” inilah, Saleh Ardisoma mendapat posisi yang cukup tepat dan diterima masyarakat. Di antara semua karyanya, bisa dikatakan bahwa Wayang Purwa merupakan puncaknya. Wayang Purwa karya S. Ardisoma yang terbit pada tahun 1956 menjadi salah satu tonggak sejarah cergam khususnya dalam genre wayang.
Istilah "Purwa" dalam seni pertunjukan (wayang golek atau kulit), oleh sebagian ahli diartikan sebagai "masa lampau". Sebagian ahli lain mengatakan bahwa kata "purwa" berasal dari "parwa" (parva) yaitu episode-episode atau babak dalam kisah Mahabharata. Sebenarnya Mahabharata versi India, terdiri dari 18 parwa, yang dimulai dari Adi Parva yang menceritakan tentang asal-usul wangsa Bharata, dan diakhiri dengan Swargarohana Parva tentang perjalanan akhir Pandawa untuk naik ke nirwana. Sementara kata Wayang sendiri sebenarnya merujuk pada suatu bentuk seni pertunjukan. Jadi yang sering disebut sebagai "cerita wayang" sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah "cerita" yang biasanya dibawakan dalam pertunjukan wayang dan cerita itu adalah biasanya merupakan runtutan cerita di sekitar kisah besar Ramayana dan Mahabharata.
Wayang Purwa versi cergam tidak menceritakan episode-episode yang ada dalam parva dari India tersebut melainkan kisah-kisah sebelum masa Ramayana dan Mahabharata. RA Kosasih di tahun 1970-an akhir, di bawah penerbit Maranatha juga membuat cergam dengan judul Wayang Purwa dan dengan sruktur isi yang kurang lebih sama. Demikian juga dengan Oerip S. Jadi, istilah "Wayang Purwa" dalam cergam akhirnya merujuk pada pengertian "kisah-kisah yang terjadi sebelum Ramayana dan Mahabharata".
Di dalam cergam Wayang Purwa, terdapat episode tentang Manikmaya yaitu cerita tentang bagaimana Sanghyang Tunggal mewariskan kahyangan kepada anak-anaknya para dewa. Kemudian ada cerita tentang asal muasal karakter-karakter asli nusantara seperti Semar dan keluarganya. Setelah itu, ada kisah tentang Dewi Sri dan Batara Kala. Episode Arjuna Sasrabahu yang di India sendiri tidak terlalu menonjol, dalam Wayang Purwa cukup mendapatkan porsi yang besar. Kisahnya dipadu dengan cerita tentang Somantri dan Sukrasana. Setelah itu, ada juga episode tentang Subali, Sugriwa, Rahwana dan kelahiran Hanoman. Baru pada bagian akhir dimasukan episode tentang penculikan Sinta oleh Rahwana. Cergam berhenti di saat penyerbuan Rama ke Alengka dan untuk selanjutnya oleh penerbit, pembaca dipersilakan untuk meneruskannya di cergam karya RA Kosasih yaitu Ramayana. Kisah-kisahnya memang kolosal. Di dalamnya banyak adegan-adegan perang antara para dewa dan raksasa. Makhluk-makhluk yang muncul juga fantastis, ada raksasa, dewa, monster, manusia berkepala hewan, dan lain-lain. Saleh Ardisoma mampu menggambarkannya dengan sudut-sudut pandang yang cantik dan dramatis. Penggambaran istana dan kahyangannya juga terasa megah. Dalam rentang jilid yang panjang terlihat bahwa kemahiran Saleh Ardisoma dalam membuat cergam semakin lama semakin meningkat. Halaman-halaman pada episode akhir jauh lebih baik dari halaman-halaman di jilid pertama.
Wayang Purwanya Saleh Ardisoma, Ramayana - Mahabharatanya RA Kosasih (temasuk Bharatayuda dan Pandawa Seda) telah mewakili garis besar lakon-lakon utama wayang. Apabila kita selesai membaca ketiga judul tersebut maka kita akan lebih mudah dalam mengikuti dan memahami lakon-lakon wayang lainnya yang berupa petikan kisah seperti misalnya Ulamsari. Sampai saat ini, cergam merupakan media penyampai kisah pewayangan paling mutakhir yang bisa dikatakan berhasil karena berdasarkan pengakuan langsung dari banyak orang, mereka mengenali kisah-kisah “wayang” pertama kali dari membaca cergam.
Cergam Wayang Purwa karya Saleh Ardisoma ini rupanya juga cukup menarik perhatian penerbit Perancis, Trismégiste. Pada tahun 1982, salah satu episode dari Wayang Purwa yaitu Manikmaya, sempat diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Perancis. Pada tahun 2002, Wayang Purwa dicetak ulang secara lengkap dalam format yang lebih kecil oleh PT Elex Media Komputindo. Tahun 2010, karya terbaik Saleh Ardisoma ini diterbitkan kembali dalam ukuran yang besar. Tampaknya penerbit Pluz+ sangat memahami nilai penting dari Wayang Purwa karya Saleh Ardisoma ini sehingga diabadikan dalam format yang mewah dan sangat layak untuk menjadi koleksi.
Mahabharata dan Ramayana memang “milik” RA Kosasih namun S. Ardisomalah perancang jagad "Wayang Purwa" yang pertama dalam cergam.
iwan gunawan
pemerhati komik/ akademisi/ founder www.komikindonesia.com
Dari : http://erwinprima.multiply.com/journal/item/40/Iwan_Gunawan_S._ARDISOMA_dari_DJAKAWANA_sampai_WAYANG_PURWA
Senin, 01 Februari 2010
Siluman Sinting
Pendekar Bulu Pitu
Balada Seorang Pendekar
Boda - Gerdi WK
Hans Jaladara Menyepi dari Kebisingan
Minggu, 26 April 2009 | 04:43 WIB
Berpindah rumah sampai tujuh kali. Pengalaman itu dialami komikus terkenal era 1980-an, Hans Jaladara (62). Ia pernah punya rumah persis di pinggir jalan tol hingga hafal betul dengan suara truk yang pecah ban. Lusiana Indriasari
Suaranya meledak seperti tembakan. Kaca dan plafon rumah sampai bergetar,” kenang Hans tentang rumahnya di perumahan Galaksi Bekasi yang pernah ia tinggali pada tahun 1994-1998. Semula Hans ngeri setiap kali ada suara ledakan karena ia berpikir ledakan itu berasal dari pistol yang ditembakkan.
Rumah Hans di Galaksi berseberangan langsung dengan Tol Jakarta-Cikampek. Antara rumah dan jalan tol hanya dibatasi pagar dan jalan kompleks. ”Kami semula tidak tahu di depan rumah akan dibangun jalan tol,” kata Risna (54), istri Hans.
Empat tahun tinggal di pinggir tol cukup membuat Hans dan Risna tertekan. Mereka lalu memutuskan pindah ke perumahan Lippo Cikarang, Cikarang, Jawa Barat. Hasilnya sama saja.
Meski tidak bising, pasangan itu tertekan karena rumahnya berdekatan dengan kawasan industri sehingga lingkungannya polutif. ”Di lingkungan rumah kami sering tercium bau bahan kimia aseton. Kadang-kadang siang hari ada serpihan debu seperti bekas kertas terbakar,” kata Hans yang kemudian memutuskan pindah lebih jauh lagi dari Jakarta, yaitu ke Bogor, Jawa Barat. Rumah di Bogor adalah rumah ketujuh Hans.
Perjalanan
Karena sering berpindah itulah Hans memaknai rumahnya sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan untuk menemukan kenyamanan dan ketenangan. Pasalnya, selama tujuh kali pindah rumah, baru rumah di Bogor itulah yang membuat Hans betah.
Di rumahnya sekarang Hans tidak perlu lagi terkena polusi dan bising oleh deru kendaraan dari jalan tol. Lokasi rumah Hans lumayan jauh masuk ke dalam kompleks perumahan Taman Yasmin Sektor VI.
”Lingkungan rumah yang nyaman membantu memunculkan inspirasi untuk komik saya,” kata Hans. Bila idenya sedang macet, Hans bisa mondar-mandir keluar masuk dari dalam rumah ke halaman depan rumah. Di halaman itu, sambil mencari inspirasi, ia menatap tanaman hijau yang tumbuh segar karena dirawat sang istri.
Hans juga senang melihat ikan koi di kolam di depan rumahnya. ”Semua yang merawat istri saya. Istri juga yang menguras kolam kalau saya hanya membantu saja,” tutur Hans.
Rumah Hans sangat sederhana. Luas tanahnya 168 meter persegi sedangkan bangunannya sekitar 100 meter persegi. Dengan sisa tabungannya, Hans membeli rumah bekas di kompleks perumahan itu. Soal harga, Hans sudah lupa.
Rumah itu memiliki tiga kamar tidur, salah satunya ditempati anak pertama keluarga ini, Maureen. Anak kedua, Elizabeth, tinggal terpisah.
Ruang tamu menyatu dengan ”ruang” kerja Hans yang hanya meletakkan satu meja di pinggir jendela yang bisa dibuka lebar. Di meja itulah, begitu bangun pagi Hans langsung mencoret-coret sketsa untuk membuat komik Intan Permata Rimba.
Sejak tahun 2006, komik berseri itu dimuat setiap hari oleh harian Suara Merdeka yang terbit di Semarang, Jawa Tengah. ”Sebentar lagi sudah akan tamat,” kata Hans. Selain menggarap Intan Permata Rimba, Hans juga rutin menggambar komik untuk majalah anak-anak Kita.
Di ”ruang kerja” itu, Hans menyimpan sejumlah judul komik yang pernah dibuatnya sejak tahun 1968. Di rak bukunya, Hans memajang komik Panji Tengkorak yang diterbitkan tiga versi, yakni versi tahun 1968, versi 1985, dan versi 1996. Ada juga komik lain yang pernah jaya tahun 1980-an, antara lain Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian dan Boma.
Kardus kosong
Tidak jauh dari rak buku, ada tangga kayu menuju mezanin (lantai atas yang terbuat dari kayu). Tangga kayu sempit itu penuh dengan tumpukan kardus yang ternyata kosong. ”Bapak senang sekali menyimpan kardus kosong. Kalau mau saya buang, selalu tidak boleh,” tutur Risna.
Tumpukan kardus kosong itu juga memenuhi sebagian ruang mezanin. Padahal, sebagian ruang mezanin digunakan untuk menyimpan barang-barang milik kedua anak Hans. Hans tidak mau membuang kardus-kardus itu karena, menurut dia, suatu saat pasti bermanfaat. ”Bisa untuk mengirim-ngirim barang,” kata Hans.
Karena pekerjaan Hans bisa dikerjakan dari rumah, Hans lebih banyak berada di rumah. Ia mengaku tidak terlalu suka berkegiatan di luar rumah karena setiap kali ide komiknya datang, ia ingin bisa langsung menuangkannya di atas kertas.
”Ketika komik sedang jaya, saya pernah tidak menginjak aspal di depan rumah selama satu minggu,” kata Hans. Selama satu minggu itu pula ia hanya terpaku di meja kerjanya, dari pagi-pagi sejak bangun tidur hingga tengah malam. Setelah lelah, ia langsung tidur dan esoknya menjalani rutinitas sama.
Ketika membeli rumah, Hans langsung menutup halaman belakang rumahnya dengan bangunan baru. Bangunan baru itu beratap rendah sehingga terasa panas bila matahari sedang terik menyengat.
Bangunan baru itu digunakan sebagai ruang keluarga. Di tempat itu ada cermin yang menutupi seluruh dinding bagian belakang. ”Saya dulu mengajar senam,” kata Risna tentang cermin itu.
Istri Hans ini memang tidak pernah sepi berkegiatan. Selalu saja ada yang ia kerjakan. Sebuah mesin jahit tua digunakan Risna untuk menjahit pakaian kala senggang.
Di rumahnya, Risna dan Hans tidak pernah berhenti berkarya. Seperti kata Hans, ”Otak bisa pikun jika pikiran tidak terus digunakan.”
Dari : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/26/04434925/Hans.Jaladara.Menyepi.dari.
Label:
Profil Hans Jaladara
Langganan:
Postingan (Atom)