Senin, 01 Februari 2010

Hans Jaladara Menyepi dari Kebisingan


Minggu, 26 April 2009 | 04:43 WIB

Berpindah rumah sampai tujuh kali. Pengalaman itu dialami komikus terkenal era 1980-an, Hans Jaladara (62). Ia pernah punya rumah persis di pinggir jalan tol hingga hafal betul dengan suara truk yang pecah ban. Lusiana Indriasari

Suaranya meledak seperti tembakan. Kaca dan plafon rumah sampai bergetar,” kenang Hans tentang rumahnya di perumahan Galaksi Bekasi yang pernah ia tinggali pada tahun 1994-1998. Semula Hans ngeri setiap kali ada suara ledakan karena ia berpikir ledakan itu berasal dari pistol yang ditembakkan.

Rumah Hans di Galaksi berseberangan langsung dengan Tol Jakarta-Cikampek. Antara rumah dan jalan tol hanya dibatasi pagar dan jalan kompleks. ”Kami semula tidak tahu di depan rumah akan dibangun jalan tol,” kata Risna (54), istri Hans.

Empat tahun tinggal di pinggir tol cukup membuat Hans dan Risna tertekan. Mereka lalu memutuskan pindah ke perumahan Lippo Cikarang, Cikarang, Jawa Barat. Hasilnya sama saja.

Meski tidak bising, pasangan itu tertekan karena rumahnya berdekatan dengan kawasan industri sehingga lingkungannya polutif. ”Di lingkungan rumah kami sering tercium bau bahan kimia aseton. Kadang-kadang siang hari ada serpihan debu seperti bekas kertas terbakar,” kata Hans yang kemudian memutuskan pindah lebih jauh lagi dari Jakarta, yaitu ke Bogor, Jawa Barat. Rumah di Bogor adalah rumah ketujuh Hans.



Perjalanan

Karena sering berpindah itulah Hans memaknai rumahnya sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan untuk menemukan kenyamanan dan ketenangan. Pasalnya, selama tujuh kali pindah rumah, baru rumah di Bogor itulah yang membuat Hans betah.

Di rumahnya sekarang Hans tidak perlu lagi terkena polusi dan bising oleh deru kendaraan dari jalan tol. Lokasi rumah Hans lumayan jauh masuk ke dalam kompleks perumahan Taman Yasmin Sektor VI.

”Lingkungan rumah yang nyaman membantu memunculkan inspirasi untuk komik saya,” kata Hans. Bila idenya sedang macet, Hans bisa mondar-mandir keluar masuk dari dalam rumah ke halaman depan rumah. Di halaman itu, sambil mencari inspirasi, ia menatap tanaman hijau yang tumbuh segar karena dirawat sang istri.

Hans juga senang melihat ikan koi di kolam di depan rumahnya. ”Semua yang merawat istri saya. Istri juga yang menguras kolam kalau saya hanya membantu saja,” tutur Hans.

Rumah Hans sangat sederhana. Luas tanahnya 168 meter persegi sedangkan bangunannya sekitar 100 meter persegi. Dengan sisa tabungannya, Hans membeli rumah bekas di kompleks perumahan itu. Soal harga, Hans sudah lupa.

Rumah itu memiliki tiga kamar tidur, salah satunya ditempati anak pertama keluarga ini, Maureen. Anak kedua, Elizabeth, tinggal terpisah.

Ruang tamu menyatu dengan ”ruang” kerja Hans yang hanya meletakkan satu meja di pinggir jendela yang bisa dibuka lebar. Di meja itulah, begitu bangun pagi Hans langsung mencoret-coret sketsa untuk membuat komik Intan Permata Rimba.

Sejak tahun 2006, komik berseri itu dimuat setiap hari oleh harian Suara Merdeka yang terbit di Semarang, Jawa Tengah. ”Sebentar lagi sudah akan tamat,” kata Hans. Selain menggarap Intan Permata Rimba, Hans juga rutin menggambar komik untuk majalah anak-anak Kita.

Di ”ruang kerja” itu, Hans menyimpan sejumlah judul komik yang pernah dibuatnya sejak tahun 1968. Di rak bukunya, Hans memajang komik Panji Tengkorak yang diterbitkan tiga versi, yakni versi tahun 1968, versi 1985, dan versi 1996. Ada juga komik lain yang pernah jaya tahun 1980-an, antara lain Walet Merah, Si Rase Terbang, dan Dian dan Boma.



Kardus kosong

Tidak jauh dari rak buku, ada tangga kayu menuju mezanin (lantai atas yang terbuat dari kayu). Tangga kayu sempit itu penuh dengan tumpukan kardus yang ternyata kosong. ”Bapak senang sekali menyimpan kardus kosong. Kalau mau saya buang, selalu tidak boleh,” tutur Risna.

Tumpukan kardus kosong itu juga memenuhi sebagian ruang mezanin. Padahal, sebagian ruang mezanin digunakan untuk menyimpan barang-barang milik kedua anak Hans. Hans tidak mau membuang kardus-kardus itu karena, menurut dia, suatu saat pasti bermanfaat. ”Bisa untuk mengirim-ngirim barang,” kata Hans.

Karena pekerjaan Hans bisa dikerjakan dari rumah, Hans lebih banyak berada di rumah. Ia mengaku tidak terlalu suka berkegiatan di luar rumah karena setiap kali ide komiknya datang, ia ingin bisa langsung menuangkannya di atas kertas.

”Ketika komik sedang jaya, saya pernah tidak menginjak aspal di depan rumah selama satu minggu,” kata Hans. Selama satu minggu itu pula ia hanya terpaku di meja kerjanya, dari pagi-pagi sejak bangun tidur hingga tengah malam. Setelah lelah, ia langsung tidur dan esoknya menjalani rutinitas sama.

Ketika membeli rumah, Hans langsung menutup halaman belakang rumahnya dengan bangunan baru. Bangunan baru itu beratap rendah sehingga terasa panas bila matahari sedang terik menyengat.

Bangunan baru itu digunakan sebagai ruang keluarga. Di tempat itu ada cermin yang menutupi seluruh dinding bagian belakang. ”Saya dulu mengajar senam,” kata Risna tentang cermin itu.

Istri Hans ini memang tidak pernah sepi berkegiatan. Selalu saja ada yang ia kerjakan. Sebuah mesin jahit tua digunakan Risna untuk menjahit pakaian kala senggang.

Di rumahnya, Risna dan Hans tidak pernah berhenti berkarya. Seperti kata Hans, ”Otak bisa pikun jika pikiran tidak terus digunakan.”

Dari : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/26/04434925/Hans.Jaladara.Menyepi.dari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar